Mengenang Kembali Sang Kyai dan Jurnalis Penggerak Cikal Bakal Hari Santri dan Pahlawan

Oleh: Ahmad Yani Elbanis*

Opini (wartanu.online) -- Pertempuran tidak seimbang, sepanjang sejarah tercatat korban paling banyak mati dalam peperangan terjadi 10 Nopember 1945, yaitu Arek Arek Suroboyo melawan penjajah dengan alat sekadarnya, sedangkan penjajah (Inggris dan sekutunya) bersenjata  lengkap sudah modern saat itu pesawat tempur, meriam dan bom yang diledakkan dimana mana kota Surabaya.

Mengawali tulisan ini sedikit mengulas ingatan kembali dari menggali berbagai sumber yang dihimpun, untuk mengenang lahirnya Hari Santri (HSN) yang sudah ditetapkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada tiap tanggal 22 Oktober, juga peristiwa sebelum 10 Nopember 1945 pertempuran paling heroik kobaran semangatnya bahkan di dunia ini sejarahnya hanya ada di Surabaya, peperangan dengan keterbatasan melawan musuh tapi berakhir dengan kemenangan Arek Arek Suroboyo walaupun banyak korban yang mati, bahkan saat itu dikisahkan Surabaya menjadi lautan merah sampai ada Jembatan Merah (JMP) karena darah darah pejuang yang mati banjir terbunuh tercecer berserakan serangan penjajah.


Peristiwa penting yang menjadi cikal bakal HSN pada tiap tanggal 22 Oktober dan Hari Pahlawan 10 Nopember, tidak lepas dari perjuangan para ulama dan kyai juga santri NU (Nahdlatul Ulama) melalui pendirinya Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy'ari dan Sutomo atau dikenal Bung Tomo seorang jurnalis atau wartawan. Kedua tokoh ini melekat namanya dalam ingatan peristiwa bersejarah, yaitu adanya Resolusi Jihad dan Pertempuran 10 Nopember 1945.

Peran andil besar Sang Kyai yaitu KH Hasyim Asy'ari lahir pada Selasa Kliwon, 24 Zulkaidah 1287 Hijriah, bertepatan dengaan tanggal 14 Februari 1871 Masehi, di pesantren Gedang, Tambakrejo, Kabupaten Jombang.

Beliau merupakan anak ketiga dari 11 bersaudara, putra dari pasangan Kiai Asy'ari dan Nyai Halimah. Dari jalur ayah, nasab Kiai Hasyim bersambung kepada Maulana Ishak hingga Imam Ja'tar Shadiq bin Muhammad Al-Bagir.

Sedangkan dari jalur ibu, nasabnya bersambung kepada pemimpin Kerajaan Majapahit, Raja Brawijaya VI (Lembu Peteng), yang berputra Karebet atau Jaka Tingkir.

Dalam sejarah tercatat Jaka Tingkir adalah raja Pajang pertama (tahun 1568 M) dengan gelar Sultan Pajang atau Pangeran Adiwijaya. Dari cucu beliau kita tahu Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) menjadi Presiden ke 4 Indonesia.

Sementara Sutomo atau populer Bung Tomo lahir di Surabaya pada 3 Oktober 1920. Dia adalah seorang jurnalis alias wartawan dan aktif menulis di berbagai surat kabar dan majalah seperti harian berbahasa Jawa Ekspres, Harian Soeara Oemoem, Mingguan Pembela Rakyat, Majalah Poestaka Timoer dan sebagainya. Bung Tomo juga pernah menjabat sebagai wakil pemimpin redaksi Kantor Berita pendudukan Jepang Domei, serta Pemimpin Redaksi Kantor Berita Antara di Surabaya.

Bung Tomo juga pernah menjabat sebagai pucuk pimpinan Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI). BPRI akhirnya dilebur ke dalam Tentara Nasional Indonesia. Bung Tomo juga kerap berpidato yang disiarkan oleh Radio BPRI untuk mengobarkan semangat perjuangan. Pidato yang disiarkan oleh BPRI ini selalu direlai oleh RRI di seluruh wilayah Indonesia.

Menariknya sebelum pidato Bung Tomo yang akhirnya menjadi pemicu perlawanan Arek-Arek Suroboyo pada 10 Nopember terhadap tentara sekutu tersebut. Sebelum membacakan pidato yang melegenda itu, Bung Tomo terlebih dahulu sowan kepada Hadratussyaikh KH Hasyim Asyari, Rais Akbar Nahdlatul Ulama pada saat itu. Bung Tomo izin untuk membacakan pidatonya yang merupakan manifestasi dari resolusi jihad yang sebelumnya telah disepakati oleh para ulama NU.

Resolusi Jihad bermula saat Presiden RI Pertama, Soekarno mengirim utusan kepada KH Hasyim Asyari, menanyakan bagaimana hukumnya dalam agama Islam membela tanah air dari ancaman penjajah. KH Hasyim Asyari tidak langsung menjawab, melainkan meminta masukan kepada para kyai terlebih dahulu.

Maka tepat pada tanggal 21-22 Oktober 1945, KH Hasyim Asyari mengumpulkan wakil-wakil dari cabang NU di seluruh Jawa dan Madura di Surabaya. Dalam pertemuan tersebut, diputuskan bahwa melawan penjajah sebagai perang suci alias jihad, atau saat ini populer dengan istilah resolusi jihad.

Setelah resolusi jihad dicetuskan, ribuan kiai dan santri bergerak ke Surabaya. Pada 10 November 1945 atau tepatnya dua minggu setelah resolusi jihad dikumandangkan, meletuslah peperangan sengit antara pasukan Inggris melawan tentara pribumi dan juga warga sipil yang cuma bersenjatakan bambu runcing. Konon, ini adalah perang terbesar sepanjang sejarah Nusantara.

Perang yang berlangsung kurang lebih selama tiga minggu ini akhirnya dimenangkan oleh Arek-Arek Suroboyo. Pasukan Inggris yang tangguh itu pun lumpuh, dan bertekuk lutut dengan perlawanan Arek Arek Suroboyo dengan semboyan: Merdeka atau Mati!.

Kisah-kisah pertempuran arek-arek Suroboyo, bersama para santri dan kyai melawan pasukan Inggris ini terekam apik dalam film 'Sang Kyai, termasuk adegan Bung Tomo yang sowan kepada KH Hasyim Asyari.

Kini HSN jatuh pada tanggal 22 Oktober setiap tahunnya. Peringatan ini, ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 22 Oktober 2015 di Masjid Istiqlal Jakarta. Penetapan Hari Santri Nasional dimaksudkan untuk mengingat dan meneladani semangat jihad para santri merebut serta mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang digelorakan para ulama. Tanggal 22 Oktober merujuk pada satu peristiwa bersejarah yakni seruan yang dibacakan oleh Pahlawan Nasional KH. Hasjim Asy'ari pada 22 Oktober 1945. Seruan ini berisikan perintah kepada umat Islam untuk berperang (jihad) melawan tentara Sekutu yang ingin menjajah kembali wilayah Republik Indonesia pasca-Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Sekutu ini maksudnya adalah Inggris sebagai pemenang Perang Dunia II untuk mengambil alih tanah jajahan Jepang. Di belakang tentara Inggris, rupanya ada pasukan Belanda yang ikut membonceng.

Penetapan HSN ini adalah pengakuan resmi pemerintah Republik Indonesia atas peran besar umat Islam dalam berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan serta menjaga NKRI. Ini sekaligus merevisi beberapa catatan sejarah nasional, terutama yang ditulis pada masa Orde Baru, yang hampir tidak pernah menyebut peran ulama dan kyai NU.

******

Eksistensi Santri

Salah seorang Kyai menta'rifkan tentang Santri bukan hanya mereka yang sekedar mondok di pesantren, tetapi mereka yang bisa mengamalkan dan perilakunya atau akhlaqnya baik serta punya hubungan baik kepada sesama juga bisa disebut sebagai santri.

Istilah  “Santri”, seperti dikutip dari buku Kebudayaan Islam di Jawa Timur: Kajian Beberapa Unsur Budaya Masa Peralihan (2001) karya M. Habib Mustopo, mengatakan kata “santri” berasal dari bahasa Sanskerta. Istilah “santri”, menurut pendapat itu, diambil dari salah satu kata dalam bahasa Sanskerta, yaitu sastri yang artinya "melek huruf" atau "bisa membaca". Versi ini terhubung dengan pendapat C.C. Berg yang menyebut istilah “santri” berasal dari kata shastri yang dalam bahasa India berarti "orang yang mempelajari kitab-kitab suci agama Hindu". Sanskerta merupakan bahasa liturgis dalam agama Hindu, Buddha, dan ajaran Jainisme, serta salah satu dari 23 bahasa resmi di India. Sanskerta pernah digunakan di Nusantara pada masa Hindu dan Buddha yang berlangsung sejak abad ke-2 Masehi hingga menjelang abad ke-16 seiring runtuhnya Kerajaan Majapahit.

Karel A. Steenbrink, seperti dikutip oleh Zamakhsyari Dhofir dalam buku Tradisi Pesantren (1985), mendukung rumusan Berg dan meyakini bahwa pendidikan pesantren, yang kemudian lekat dengan tradisi edukasi Islam di Jawa, memang mirip dengan pendidikan ala Hindu di India jika dilihat dari segi bentuk dan sistemnya.

Nurcholis Madjid lewat buku Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan (1999) menautkan pendapat tersebut dengan menuliskan bahwa kata “santri” bisa pula berasal dari bahasa Jawa, yakni cantrik yang bermakna "orang atau murid yang selalu mengikuti gurunya". Ada pula yang mengaitkan asal usul istilah “santri” dengan kata-kata dalam bahasa Inggris, yaitu sun (matahari) dan three (tiga), menjadi tiga matahari. Dinukil dari tulisan Aris Adi Leksono bertajuk “Revitalisasi Karakter Santri di Era Milenial” dalam NU Online, maksud tiga matahari itu adalah tiga keharusan yang harus dimiliki oleh seorang santri, yaitu Iman, Islam, dan Ihsan. Istilah “santri” bisa pula dimaknai dengan arti “jagalah tiga hal”, sebagaimana yang tertulis di buku Sejarah Pergerakan Nasional (2015) karya Fajriudin Muttaqin dan kawan-kawan, yaitu menjaga "ketaatan kepada Allah, menjaga ketaatan kepada Rasul-Nya, dan menjaga hubungan dengan para pemimpin".

Dari bahasa Arab, asal usul istilah “santri” juga bisa ditelaah. Kata “santri” terdiri dari empat huruf Arab, yakni sin, nun, ta’, dan ro’ yang masing-masing mengandung makna tersendiri dan hendaknya tercermin dalam sikap seorang santri, demikian dikutip dari buku Kiai Juga Manusia: Mengurai Plus Minus Pesantren (2009). Menurut ulama dari Pandeglang, Banten, K.H. Abdullah Dimyathy, huruf sin merujuk pada satrul al ‘awroh atau "menutup aurat"; huruf nun berasal dari istilah na’ibul ulama yang berarti "wakil dari ulama"; huruf ta’ dari tarkul al ma’ashi atau "meninggalkan kemaksiatan"; serta huruf ‘ro dari ra’isul ummah alias "pemimpin umat". 

Sedangkan dalam pandangan K.H. M.A. Sahal Mahfudz, Rais Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) 1999-2014, kata “santri” berasal dari bahasa Arab yakni santaro yang berarti “menutup”. Santri adalah orang yang belajar, bukan justru menutup. Maka, dikutip dari jurnal Ulul Albab (2014) seorang santri mustahil santaro. Artinya santri itu belajar dan terus belajar bersama ulama Kyai untuk menebarkan kemanfaatan ilmu dan amal bagi kehidupan sebagai bekal hidup sesudah mati agar selamat dunianya dan selamat akhiratnya.

Wallahu 'a'lam bi as-showab. 

*Jurnalis Gresik bersertifikat UKW (Uji Kompetensi Wartawan) Tingkat Madya dari Dewan Pers.

youtube